Kamis, 27 Oktober 2011

Sampan Seorang Ayah (Nelayan Tanoh Gayo)

(Rasbora tawarensis)
Cerita sedikit tentang nelayan ni, sangat banyak perbedaan nelayan zaman saya masih kecil dengan nelayan sekarang ini. Awal mula cerita ini ketika saya melihat tayangan televisi kecil di rumah seorang sahabat lama jadi saya terpikir untuk membuat dan menceritakan sedikit tentang pengalaman waktu kecil, yang memang pada waktu itu sempat ikut dalam pembuatan perahu (sampan) sampai akhirnya kembali menangkap ikan khas daerah saya yaitu ikan depik (Rasbora tawarensis)

Begini ceritanya ketika seorang ayah dari sebuah perkampungan ingin sekali membuat sampan  kecil pengganti sampan dia sebelumnya, yang saat itu tidak bisa di gunakan lagi untuk menangkap ikan di danau ini ( Danau Laut Tawar) yang bertempat Di Takengon Kabupaten Aceh Tengah kampung kelahiran saya. Awal mula sang ayah meminta kepada Pawang Uten (orang yang biasa dan tau seluk beluk hutan di daerah ini) untuk menanyakan sebatang kayu yang bisa di buat untuk sampan. Si pawang menunjukan kayu yang paling bagus dan memang sangat cocok untuk sampan seperti yang di inginkan sang ayah.
Keesokan harinya kami yang di antaranya pemuda kampung Jongok Bathin suatu daerah yang berada di sebuah Kecamatan Kebayakan tepatnya di Kota Takengon, kira-kira semua pemuda ini berumur 17  tahun ke atas yang salah satunya saya pribadi dengan di dampingi ayahanda tercinta. Kira-kira jumlah kami semua 6 orang termaksud saya, ayah, dan pawang uten sebagai penunjuk jalan. Kalau saya kira jarak dari tempat kami ke sana ukuran saya yang masih kecil kira-kira 2 km jaraknya, masalahnya sekarang, kalau jarak sih ga masalah cuman penanjakan ini yang membuat kaki terasa letih, di perjalanan aja kami istrahat sampai 2 kali. Saya rasa semua sudah tau gunung-gunung di Takengon yang memang dataran tinggi itu gi mana.
http//argayos...

Tu salah satu contoh gambar gunung di Takengon yang kami lewati serta gambar danau yang menjadi tempat usaha kami sewaktu ayah belum menjadi pegawai seperti saat ini.

Nah kembali ke cerita semula, singkat cerita sampailah kami ke tujuan terlihat sebatang kayu besar dan lurus ke atas saya lupa nama kayu ini maaf sebelumnya. Istrahat sebentar akhirnya pemuda yang kami undang untuk pembuatan sampan ini pun memulai pekerjaannya dengan menebang kayu ini menggunakan kapak besar, masing-masing pemuda memegang satu kapak andalannya yang sebelumnya mereka bawa dari rumah mereka masing-masing. Dengan badan yang berbuka dada mereka satu persatu bergantian menebang kayu ini dengan gigihnya. Dalam waktu beberapa jam kayu ini pun tumbang dengan sendirinya. Kini ayah kembali melihat, apakah memang kayu ini cocok untuk di buat sampan apakah ada sebagian kayu yang terbelah, ternyata kayu ini utuh dan siap untuk dibuat. Setelah kayu di belah dua sebagian kayu di sisihkan untuk kayu masak di rumah, yang sebelah lagi di buatlah dasar perahu menggunakan kapak kecil sejenis kerutan atau cangkul. Sebelumnya kayu di bentuk kubus dan di kerut bagian tengahnya hingga menjadi sebuah dasar sampan yang masih tebal atau bisa di katakan masih berbentuk kayu tapi mirip seperti sampan Pekerjaan ini berlangsung 2 hari.
Malam pun tiba kami menginap di hutan yang gelap dan tandus tanpa ada seorang pun selain kami berenam di bawah tenda yang kami sediakan sendiri. Malam ini adalah malam ketiga saya menginap di hutan, dari malam-malam sebelumnya malam ini yang sangat mengerikan bagi saya pribadi suara jenis hewan yang saya dengar membuat saya tidak bisa tidur seperti yang lainnya sampai-sampai ayah saya juga ikut dalam menjaga saya. Banyak sebenarnya di malam ini yang saya alami tapi berbau mistik di lain hari akan saya ceritakan kejadian apa yang menimpa saya.
Keesokan harinya dengan badan yang lelah dan ngantuk kami kembali menuju kayu sampan yang sebelumnya sudah kami kasih pola. Pagi ini ayah mulai beres-beres untuk perjalanan pulang kerumah, sedangkan yang lainnya mulai mengikat pola sampan untuk di tarik ke kampung. “Awal mula saya bingung untuk apa mereka mengikat perahu ini padahal perahunya belum jadi, dengan kayu yang masih basah, tebal apakah mereka sanggup menarik sampan ini padahal harus melewati dua pegunungan baru sampai ke kampung” (pikiran sesaat). Banyak pertanyaan terlintas di pikiran saya yang pemula saat itu, ternyata tebakan saya benar sampan ini akan di tarik oleh pemuda-pemuda ini melewati gunung-gunung yang tinggi ini. Ga terbayangkan betapa gigihnya mereka, pola perahu ini di tarik dengan menggunakan kekuatan manusia yang tak seberapa bisa di katakan tapi sungguh ajaib pola perahu ini bergeser sedikit demi sedikit. Niat untuk pulang cepat tertunda setelah saya tanyakan kepada ayah berapa hari lagi kita menarik ini, sang ayah mengatakan 1 hari lagi kita menginap ya nak cukup kecewa hati ini.
Setelah dalam satu hari satu malam kami menarik pola sampan ini tampaklah danau kesayangan yang saya rindukan dalam beberapa hari sebelumya. Hati terasa lega tak lama lagi kita akan sampai kekampung tercinta, sungguh indah rasanya melihat danau tersebut dengan warna biru yang agak keputi-putihan di hiasi para sampan kecil layaknya korek api seperti karangan WS.Rendra. Tak terasa akhirnya sampai juga kelereng gunung dekat danau yang masyarakat beri nama Kampung Bebuli. Sebelum kami kembali kerumah sang ayah menitipkan perahu ini kepada kenalan ayah terdekat di kampung ini, setelah ayah menitipkan sampan bergegaslah kami pulang ke rumah kesayangan yang saya nantikan dalam beberapa hari ini di hutan. Dari kejauhan terlihat seorang ibu yang lagi menyusun ikan depik yang akan di keringkan, ternyata dia adalah ibunda tercinta ingin rasanya memeluk ibu karena kangennya tapi, karena malu seolah-olah layaknya pemuda tangguh saya menyapa ibu dengan senyuman semata, ayah tersenyum karena dia tau kalau saya kangen banget sama ibu.
Tak terasa lelahnya malam itu membuat mata ini rasanya ingin bergegas untuk tidur pulas, sampai-sampai untuk mandipun saya lupa. Pagi hari tiba ayah ingin pergi sendiri memulai pembuatan sampannya kembali rasanya memang dia sudah lama nganggur untuk menangkap ikan, yah maklum lah orang tua di kampung saya ga bisa diam harus kerja-kerja terus. Tapi saya ikuti ayah dari belakang karena saya pikir tempatnya juga dekat dari kampung yang saya tempati saat ini, ssampai di sana ayah terkejut melihat saya jalan sendiri di pinggir jalan bebuli yang masa itu masih pengerasan belum juga di aspal. Terlihat sampan rasanya hampir jadi dan hampir mirip dan agak menipis seperti sebelumnya. Cara pengerutan ini mirip seperti kita membuat galian lubang di tanah lihatlah gambar di bawah ini.
pembuatan sampan

Nah ini contoh pengerut dan cara mengerut kayu ini menjadi sampan cukup sulit bukan bayangkan aja gambar di samping sampai-sampai melepas baju segala, seksikan kayak adirai masih kecil (canda). Proses ini berlangsung 4 hari berturut-turut sampai akhirnya menjadi sampan sungguhan. Oya lupa sebelum masuk ke air ini butuh pengeringan dalam beberapa hari, tergantung cuaca kalau panas bisa jadi singkat yah kalau hujan lama lah ceritanya.
Cukup sulit bukan, cara-cara pembuatan sampan di ini begitulah perjuangan masyarakat nelayan di kampung Gayo secara keseluruhan. Zaman saya kecil penebangan kayu belum di larang sama sekali apa lagi untuk keperluan nelayan, begitulah orang zaman yang namanya menebang kayu harus memakai aturan. Tujuan kehutan untuk menebang satu kayu maka satu kayulah yang harus di ambil tidak boleh lebih karena hukum adat tidak mengijinkan bahkan kalau kita melanggar bisa terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan, contohnya kesurupan, lumpuh atau sejenisnya yang mengakibatkan rusaknya fisik manusia tersebut. Beda dengan zaman sekarang ini menebang itu boleh tapi harus menggunakan surat-surat yang jelas, serta pembayaran pajak yang lumayan besar. Makanya nelayan kami untuk akhir-akhir ini semakin lama semakin kurang, bahkan kebanyakan mereka mengambil usaha di pinggir-pinggir danau seperti membuat kerambak, memancing ikan dari lereng gunung, bahkan ada juga yang berhenti dan mencari usaha lain karena kurangnya sampan, tapi kini kebanyakan perahu-perahu yang berbau mesin yang berjalan menggunakan cairan minyak berbau oli dan berasap polusi di mana-mana. Kasian kan ikan-ikan yang ada di danau ini.
Sedikit saya komplaen dengan kapal-kapal ini tapi salah juga kalau menebang kayu nah jadi bingung gimana cara menanggulanginya. Apa yang harus kita perbuat untuk melestarikan alam ini, Menebang kayu salah, menggunakan kapal bermesin juga salah. Makanya kebanyakan dari nelayan kami berhenti dan jadilah pengangguran sejati. Ada juga yang mengambil alih menjadi pedagang itu pun yang punya modal yang tidak punya apa-apa gimana.
Sekian dulu ceritanya ada komentar silahkan berbagi kalau tak ada komentar berilah sedikit peninggalannya. Cerita ini berdasarkan pengalaman pribadi waktu kecil, ada kesalahan kata, nama dan sebagainya saya pribadi memohon maaf.
google crom




 





google crom


Tidak ada komentar:

Posting Komentar